Masjid dan Pembinaan Pra-Nikah

Setiap orang pasti pernah menghadiri acara akad nikah, tapi apa yang dilihat pasti memunculkan persepsi yang berbeda-beda. Ada yang menariknya dengan pendekatan ekonomi, budaya, sosial dan lain-lain. Tapi jika diperhatikan secara serius, praktek akad nikah di Indonesia terasa “menyeramkan”. Ditambah dengan berbagai aturan yang dibuat-buat oleh beberapa oknum agar acara tersebut terlihat sakral. Inilah yang kemudian menghilangkan nilai-nilai sakral dari akad nikah yang sesungguhnya, yang bukan sekedar menunjukkan simbol dan seremonial semata, namun hilang makna. Padahal akad nikah adalah perjanjian suci antara seorang pria dan seorang wanita membentuk keluarga bahagia dan kekal (Moh. Idris Ramulyo, 1979 :1), dengan model karakteristiknya adalah sakinah (sukses materi), mawadah (tentram psikologis) dan rahmah (terjaga nilai-nilai teologis).

Akan tetapi mengapa kemudian masih banyak keluarga-keluarga muslim Indonesia yang belum sampai kepada visi tersebut dan bahkan dengan mudah terjerumus pada praktek-praktek yang dibenci Allah, yakni percerain yang dibumbui dengan saling membuka aib. Di sinilah letak kesalahan bersama atau dosa kifayah (meminjam istilah Prof. Yudian) yang terus menerus terjadi. Kita lebih suka dengan hal-hal yang formil namun menafikan esesnsi yang terkadang lahir dari ruang non-formil. Ini semua adalah efek dari kelemahan ilmu agama dan mungkin juga tidak ada semangat untuk mendalami ilmu tersebut.

Jikalau diperhatikan penyampaian dari setiap khutbah di dalam akad nikah, maka tidak ada satupun isinya yang tidak baik, semuanya mengena untuk semua orang. Namun lihat kedua mempelai, mungkinkah mereka saat itu menikah karena Allah dengan dasar ilmu, ataukah karena nafsu semata. Dan tidak sedikit pula, acara akad nikah dilaksanakan hanya untuk menutupi dosa personal dan rasa malu keluarga karena telah terjadi perzinahan sebelum nikah. Maka wajar jika kemudian, kasus perceraian di Pengadilan Agama tidak pernah sepi dan bahkan terus menanajak naik garfiknya.

Untuk itu, dibutuhkan semangat dari baik para agamawan dan pemegang kebijakan untuk merevitalisasi “Pembinaan Pra-Nikah” bagi para calaon pengantin. Dan sesungguhnya, kerja seperti ini sudah tidak terlalu merepotkan lagi, karena hampir dari satu kelurahan saja memiliki lebih dari 5 masjid (jika tidak ingin dikatakan 1 RT : 1 Masjid), tinggal menunggu gerak dari pemerintah saja (yakni Kementerian Agama) untuk mau atau tidak mengoptimalkan kerja masjid sebagai sarana penguatan keluarga muslim.

Masjid sebagai rumah umat Islam dengan petugas yang bekerja lillahita’ala (karena Allah) jika diberikan amanah oleh negara untuk memberikan pembinaan calon pengantin sebelum nikah, dengan materi penguatan akidah, penjagaan keluarga, kekerasan dalam rumah tanggga (KDRT), dengan intensitas pertemuan satu minggu satu kali dan berjalan selama enam bulan lamanya, maka tidak menutup kemungkinan, kasus-kasus penyelewengan hak dan kewajiban di dalam rumah tangga akan terkikis habis.

Bukankah kasus-kasus perceraian terjadi lebih dikarenakan ketidaktahuan job description serta hak dan kewajiban antara suami dan istri. Semua tumpang tindih sistem kerjanya, terkadang istri duduk sebagai suami dan suami menempati kedudukan istri. Islam memang tidak mebedakan wanita dan pria dari segi gender, siapapun boleh menjadi apapun, namun dari sisi sex perbedaan tersebut tidak bisa dipungkiri. Oleh karenanya, penting untuk saling mengetahui kedudukan masing-masing di dalam rumah tangga.
Contoh faktual di negeri ini tentang ketidaktahun masyarakat muslim tentang visi rumah tangga yang sesungguhnya adalah, kasus Eyang Subur, AF dan LHI (yang diangkap KPK) yang terlihat seperti “merendahkan” wanita, karena mereka hanya mengukur wanita dari berapa jumlah rupiah di dalam saku mereka. Tidak penting apakah perjlaan rumah tanggga berlangsung lama atau tidak, asalkan tercapai kebutuhan biologis mereka maka selesailah urusan pernikahan. Jika ini terus berkembang, maka bisa diprediksi bahwa anak-anak perempuan Indonesia ke depan (termasuk miliki kita semua) akan juga merasakan kasus seperti ini.

Maka mungkinkah kita akan terus menjadikan dosa kifayah sebagai sebuah adat yang kemudian ditetapkan menjadi hukum baru ? atau mungkinkah kita sedang berupaya untuk menaikkan grade dosa kifayah menuju dosa jariah karena semua melupakan substansi dari akad nikah yang sesungguhnya. Jangan sampai anak-anak perempuan muslim Indonesia hanya menjadi korban sistem yang tidak beraturan tersebut. Untuk itu, dengan menguatkan fungsi masjid dalam hal pembinaan keluarga pra nikah, semua komponen bangsa ikut bekerja dalam kebaikan dan kesabaran.

Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini masjid masih berfungsi teologis, dan belum masuk ke dalam ruang kosmos apalagi kosmis. Padahal, manusia sebagai unsur kosmis memiliki kepentingan untuk menciptakan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera lahir dan batin. Untuk itu, menjadi kewajiban semua orang saat ini untuk memiliki etikat yang baik dan semangat yang tinggi dalam memperbaiki rumah tangga yang paling esensial menuju sakinah, mawaddah dan rahmah, yang hanya bisa di dapat dalam kontemplasi diri sebelum pernikahan berlangsung. Dengan demikian, menjadi wajib ‘ain (kewajiban yang bersifat personal) rasanya, bagi setiap calon pengantin untuk melakukan pendidikan, pelatihan dan pembinaan sebelum perkawinan berlangsung. Semoga ada gayung bersambut dari pemerintah untuk menggandeng para imam dan pengurus-pengurus masjid dalam mengimplementasikannya. Wallahua’lam.

sumber : http://ahmadrajafi.wordpress.com/2013/06/05/masjid-dan-pembinanan-pra-nikah/

Post a Comment for "Masjid dan Pembinaan Pra-Nikah"