Nikah: Antara Penghulu, Gratifikasi dan KPK

Gonjang-ganjing dunia per-KUA-an di Bantul  ternyata tidak begitu berimbas di daerah lain. Tidak di kabupaten yang masih satu propinsi dengan Bantul apalagi yang beda propinsi. Hal ini menurut cerita beberapa kawan yang ikut diklat di Semarang maupun yang ikut jadi pengiring manten di daerah lain. Kabar tentang kepala-kepala KUA dan Penghulu di Bantul yang nyaris tidak bisa tidur setelah disidik penegak hukum karena dianggap melakukan pungli dan menerima gratifikasi ternyata baru mereka dengar. Para kepala KUA dan Penghulu yang melaksanakan tugas menghadiri, mengawasi  dan mencatat pernikahan di luar kantor dan di hari libur yang menolak diberi uang transport dan menolak pula untuk makan minum di tempat tugas agaknya juga tidak berlaku di daerah lain. Mungkin saja ada yang mengalami kasus yang sama tetapi kenyataannya yang lebih sering ditemui selalu saja berbeda.

Kerja nyaman dan aman karena sesuai dengan aturan perundang-undangan, mendapatkan gaji dan penghasilan yang halal dan barokah karena dibenarkan secara undang-undang dan syariat agama merupakan harapan bagi setiap pegawai.

Menerima pemberian gratifikasi berupa uang transport bagi petugas yang menghadiri akad nikah di luar kantor dan hari libur secara aturan (PP no. 53 Tahun 2010 pasal 13 ayat 8) tidak diperbolehkan meskipun petugas tidak memintanya, meskipun yang memberi juga sudah ikhlas, meskipun ada penegak hukum yang bilang kalau itu boleh-boleh saja.

Oleh karena itu para kepala KUA dan Penghulu di Kabupaten Bantul sepakat untuk tidak menerima pemberian tersebut demi kenyamanan dan keamanan dalam bekerja dan melaksanakan tugas.

Setiap pegawai (PNS di seluruh Indonesia) dalam bekerja harus sesuai dengan peraturan tentang kedisiplinan pergawai yang diantaranya adalah harus “masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja” (PP 53 Tahun 2010 Pasal 3 angka 11) dimana untuk kementerian agama sesuai dengan PMA 8 tahun 2013 pasal 3 ayat (2) jam kerjanya adalah untuk hari senin s.d kamis pukul 07.30 – 16.00 dengan istirahat pukul 12.00-13.00 dan hari jum’at pukul 07.30 – 16.30 dengan waktu istirahat pukul 11.30-13.00. selain waktu-waktu tersebut merupakan hak setiap pegawai untuk libur, untuk istirahat dan untuk keluarga.

Dalam dunia per-KUA-an selama ini nyaris tidak mengenal hari libur. Nyaris bekerja 7 hari dalam seminggu bahkan melebihi jam kerja yang ditentukan dalam sehari yaitu 7,5 jam karena harus bekerja melaksanakan tugas sampai malam. Padahal, tugas kedinasan diluar jam kerja harus dihitung sebagai kerja  lembur (PMK NOMOR 125 /PMK.05/2009, pasal 1 angka 2). Belum lagi dalam pelaksanaannya, tugas penghulu tidak hanya sebagai petugas yang memeriksa, mengawasi dan mencatat peristiwa pernikahan tetapi juga sebagai pembawa acara, pembaca khutbah nikah dan pemimpin doa.

Adapun Tugas kedinasan yang dihitung sebagai kerja lembur diberikan uang lembur yang besarannya ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Umum (PMK 125/PMK.05/2005 pasal 3 ayat (1) dan (2). Dan untuk uang lembur pada hari libur sebesar 200% dari uang lembur (Pasal 3 ayat (3) pada hari biasa.

Akan tetapi perhitungan uang lembur tersebut diatas tidak berlaku bagi KUA karena memang tidak diberikan anggaran untuk itu. Disisi lain pemberian yang diberikan oleh masyarakat atas pelayanan Petugas Pencatat Nikah (PPN) pada hari libur atau diluar jam kerja tetap dianggap sebagai gratifikasi. Lalu petugas KUA harus bagaimana? Tidak melayani di hari libur dan di luar jam kerja meski masyarakat protes atau melayani meski harus dengan biaya sendiri dan meninggalkan liburan bersama keluarga? Sementara anggaran transport dan Jasa Profesi yang di rencanakan oleh Kemenag Pusat belum juga disetujui dan tidak masuk dalam APBNP yang sudah disahkan tadi malam. Masyarakat mestinya bisa memahami permasalahan kami sebagai petugas bukan memaksakan kehendaknya karena sudah punya hitungan hari, tanggal dan jam pelaksanaan akad nikah.

Solusi terbaik saat ini yang sedang dilakukan oleh PPN di Kabupaten Bantul adalah tetap melaksanakan tugas di hari libur dan diluar jam kerja serta diperbolehkan menerima gratifikasi yang diberikan oleh masyarakat (keluarga pengantin). Akan tetapi, semua gratifikasi yang diterima oleh petugas (apapun dan berapapun) harus dilaporkan ke KPK selambat-lambatnya 30 hari sejak penerimaan gratifikasi pertama kali. Perlu diberi catatan bahwa petugas dilarang meminta transport pelayanan nikah kepada masyarakat.

Langkah untuk melaporakan penerimaan gratifikasi ke KPK yang dilakukan oleh petugas KUA di kabupaten Bantul ini merupakan yang pertama di Indonesia. Hasilnya akan bagaimana, apakah gratifikasi tersebut berhak menjadi milik petugas atau harus dikembalikan ke pemberi/diserahkan ke kas negara? kita tunggu saja jawaban dari KPK. Jawaban KPK ini yang akan menjadi acuan apakah nantinya bersedia melaksanakan tugas di luar jam kerja dan di hari libur atau tidak sebelum anggaran transport dan jasa profesi yang dijanjikan benar-benar masuk dalam DIPA APBN.

Yang mau download formulir laporan gratifikasi ke KPK silahkan klik  download

Bila terbuka halaman adf.ly lihat pojok kanan atas, tunggu hitungan selesai lalu klik lewati atau skip add, maka akan terbuka halaman downloadnya.

2 comments for "Nikah: Antara Penghulu, Gratifikasi dan KPK"

Anonymous 27 February 2015 at 06:38 Delete Comment
enak ya jadi penghulu, nikah luar dapat transport, grade tiinggi, funsiona lagi.
Unknown 27 February 2015 at 16:32 Delete Comment
@anonymous : tidak usah iri dengan jabatan lain, selama penghulu bekerja sesuai dengan tupoksinya tentu itu adalah hak mereka yang sah dan halal.